Jambi, Humas – Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau perjanjian penundaan penuntutan oleh jaksa kepada pelaku tindak pidana dengan memberikan kewajiban tertentu yang harus dipenuhi, patut dipertimbangkan sebagai instrumen baru untuk mempercepat dan memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana oleh korporasi.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jambi, Dr. Ifa Sudewi, S.H., M.Hum., saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Peringatan Hari Lahir Kejaksaan RI ke-80 bertema “ Optimalisasi Pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money melalui Deferred Prosecution Agreement dalam Perkara Penanganan Pidana”, di Auditorium Rektorat Universitas Jambi, Rabu (27/8/2025).
Dalam paparannya, Dr. Ifa menegaskan bahwa penggunaan DPA harus selektif dan hanya diperuntukkan bagi korporasi pelaku tindak pidana tertentu. “Jika penuntutan dilakukan hingga akhir justru berpotensi mengganggu kepentingan umum, ketertiban, atau menimbulkan kerugian negara yang lebih besar,” ujarnya. Ia juga menekankan perlunya keterlibatan pengadilan melalui penetapan hakim sebagaimana model yang diterapkan di Inggris.
Selain DPA, ia menyebut mekanisme asset forfeiture sebagai instrumen penting lain dalam mempercepat pengembalian kerugian negara, sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2013.
Seminar ditutup pukul 13.00 WIB setelah sesi tanya jawab yang berlangsung dengan antusias.














-





